Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kemarin (08/1) akhirnya memastikan bahwa kelulusan siswa ditetapkan oleh sekolah masing-masing, bukan dari unas. Penilaian kelulusan itu murni dari penilaian guru dan sekolah. Keputusan itu disampaikan oleh Ketua BSNP Zainal Arifin Hasibuan di Jakarta kemarin. Guru besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu menegaskan bahwa satu dari empat fungsi unas selama ini akhirnya dihapus.
"Yang dihapus itu adalah fungsi unas sebagai salah satu penentu kelulusan siswa," kata dia. Keputusan itu diambil setelah BSNP bertemu dengan Mendikbud Anies Baswedan Rabu lalu (7/1). Dia mengatakan selama ini fungsi unas sebagai salah satu pertimbangan kelulusan siswa diributkan masyarakat. Di antara penyebabnya adalah, unas dinilai sebagai ujian yang tidak adil.
"Okelah kita sekarang kompromi. Porsi nilai unas dalam pertimbangan kelulusan siswa sekarang nol persen," tandasnya. Zainal menuturkan selama ini ada tiga komponen dalam penentuan kelulusan siswa. Ketiga komponen penentu itu adalah, penilaian dari guru, sekolah, dan pemerintah yakni dengan unas.
Setelah kebijakan penghapusan fungsi unas sebagai salah satu penentu kelulusan itu dihapus, maka kelulusan siswa mulai tahun ini murni dari penilaian guru dan sekolah saja. Dengan aturan baru ini, Zainal menekankan bahwa BSNP ingin menciptakan unas sebagai program penegakan sikap kejujuran bangsa Indonesia. Setelah unas tidak lagi menjadi acuan kelulusan siswa, dia berharap ujian tahunan itu dilaksanakan dengan jujur. Kalau masih ada kecurangan, itu namanya kebangetan. Ayo revolusi mental dari sekolah," ujarnya.
Zainal mewanti-wanti agar guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, wali kota, bupati, hingga gubernur tidak mengintervensi secara negatif pelaksanaan unas. Dia berharap unas dilaksanakan sebagai kegiatan akademik, bukan politik. Dengan cara ini, peta kualitas pendidikan yang didapat dari kegiatan unas benar-benar valid.
Meski fungsi unas sebagai salah satu pertimbangan kelulusan dihapus, Zainal mengatakan fungsi-fungsi lainnya tetap dipertimbangan. Yakni fungsi sebagai alat pemetaan atau radar kualitas pendidikan di Indonesia. Dia mengatakan kualitas pendidikan tidak bisa dipetakan, jika tidak menggunakan alat pemetaan yang berstandar nasional. Fungsi unas berikutnya yang dipertahankan adalah, sebagai acuan masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. "Jika nanti perguruan tinggi tidak mau menggunakan nilai unas, ya terserah mereka. Yang penting kita sudah sediakan," katanya.
Tetapi menurutnya, masih ada kenaikan jenjang dari SD ke SMP, serta dari SMP ke SMA/SMK yang membutuhkan pertimbangan nilai unas. Jika penerimaan atau seleksi kenaikan jenjang itu murni dari rapor, tentu akan kesulitan. Sebab nilai rapor bisa saja tinggi-tinggi, yakni 8, 9, bahkan sampai 10 semua. Kemudian fungsi unas terakhir yang masih dipertahankan adalah, sebagai bahan kebijakan intervensi pendidikan oleh pemerintah. Dia mencontohkan jika di sekolah A nilai fisika-nya jeblok, berarti ada kemungkinan pemenuhan kualitas pembelajaran fisika rendah.
Sehingga intervensi fokus untuk pemenuhan sarana pembelajaran fisika. "Jika tidak ada unas, apakah pemerintah nunggu wangsit. Kan tidak seperti itu," pungkas dia. (wan/end)
Referensi artikel : Unas untuk Masuk Jenjang Lebih Tinggi – JPNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar